Kamis, 22 Juni 2017

Siapa yang lebih menakutkan?

20…
Sebentar lagi 20 tahun sudah aku hidup di dunia ini..
‘kepala dua’ kata mereka
20 tahun bisa menjadi waktu yang singkat, bisa juga menjadi waktu yang terbilang cukup panjang
Sudah terlalu banyak kisah, cerita, drama, kenangan yang sudah aku lewati
Begitu juga pelajaran
Bukan, maksud ku bukan matematika, ilmu alam dan ilmu sosial atau yang lainnya
Pelajaran hidup maksud ku
Pelajaran yang sangat unik menurut ku
Tidak bisa seorangpun di dunia ini yang bisa mengajari kamu tentang pelajaran hidup, kamu harus belajar sendiri!
Ya, kamu bisa mendengar cerita pengalaman hidup orang lain
Entah orang tua, guru, sahabat, atau bahkan orang yang tidak terlalu dekat dengan mu
Tetapi belum tentu kamu bisa belajar dari pengalaman orang lain
Bahkan sampai kamu sudah merasakan apa yang mereka namakan ‘ujian’ hidup, bahkan berkali-kali, belum tentu kamu mampu belajar sesuatu dari sana
Entah bagaimana cara belajar dari jenis ujian ini
Ujian yang kamu hadapi bukan SETELAH kamu belajar
Melainkan kamu baru akan belajar, setelah mendapat ujian.


Berbagai ‘ujian’ hidup telah aku lewati
Di tulisan ku kali ini, biarkan aku berbagi mengenai pelajaran yang masih terus ku pelajari sampai detik ini
Tidak, aku tidak akan menggurui kalian
Aku mau berbagi dengan kalian, dan mengajak kalian berpikir bersama
Syukur-syukur kalau pertanyaan ku ini bisa terjawab
Ya, pertanyaan ujian, dari diri ku, untuk aku sendiri


Aku kecewa ketika sudah merias diri, namun orang di sebrang sana semudah itu membatalkan janji untuk bertemu
Aku kecewa ketika mengeluarkan uang untuk makan di suatu restoran, namun rasanya seperti tidak layak masuk perut
Aku kecewa ketika memesan ojek online dan berharap akan sampai tujuan lebih cepat, namun ternyata driver malah membawa ku keliling Jakarta
Aku kecewa ketika sudah belajar sampai larut malam, namun hasilnya tidak memuaskan
Aku kecewa ketika berlatih setengah mati untuk suatu lomba, namun aku gagal
Aku kecewa ketika menganggap seseorang adalah sahabat, ternyata sering kali diam-diam pergi dengan orang lain tanpa mengajak diriku, atau bahkan membicarakan diri ku ketika aku tidak ada
Aku kecewa ketika saat sekolah, aku mengajari temanku mengenai ilmu yang orang-orang sebut sebagai fisika, namun ketika ujian, dia mendapat nilai yang jauh lebih bagus daripada aku
Aku kecewa ketika aku seseorang melakukan hal yang dia tau sebenarnya aku tidak suka, namun ia tetap melakukan itu di depan ku (dan sialnya aku tidak bisa melarang)
Aku kecewa ketika sahabat ku mempunyai pacar baru. Apakah karena aku tidak turut senang ketika mereka bahagia? Bukan. Karena aku (mungkin juga kalian) pernah merasakan, seseorang cenderung ‘lupa kawan’ ketika mempunyai pacar
Aku kecewa ketika berusaha selalu ada untuk orang lain, namun ketika aku bosan, mereka sangat sibuk, bahkan tidak punya waktu membalas pesan singkat ku
Aku kecewa ketika aku peduli kepada seseorang, mereka melakukan salah, lalu aku menegurnya, respon mereka adalah marah dan mengira bahwa aku ingin menjatuhkan mereka, menghina, ribet, rese, kepo, dan lainnya
Aku kecewa ketika berusaha tepat waktu untuk bertemu seseorang, namun dengan mudahnya orang itu membiarkan diriku menunggu beribu-ribu detik tanpa berpikir betapa kesepian dan bosannya aku saat itu
Aku kecewa ketika aku selalu berusaha jujur di depan orang tua ku, berusaha agar mereka tidak akan pernah malu setitikpun karena aku, namun mereka tetap mengira aku mengelabui mereka
Aku kecewa melihat bagaimana janji yang dulunya pernah aku dan pihak lain buat bersama, sekarang tidak ada artinya
Dan masih banyak lagi kecewa lainnya yang jika aku paparkan, aku khawatir kalian akan muak membacanya
Namun menurut ku, jenis kecewa yang paling membuatku sakit adalah ketika orang lain tidak dapat mengerti mengapa aku kecewa. Sering kali jika aku bercerita bahwa aku kecewa, yang aku dapat hanyalah cemoohan dari mereka yang tidak mampu mengerti bagaimana perasaan ku. Atau bahkan mereka akan memilih untuk menjauhi ku. Hmm, ku rasa mereka bukan tidak mampu mengerti, namun tidak mau mengerti. Jelas perbedaannya.


Tidak, aku tidak meminta belas kasihan kalian, aku bukan sedang menceritakan bagaimana menyedihkan hidupku yang dipenuhi kekecewaan karena aku sangat yakin, kalianpun mengalami kecewa yang sama sepertiku, bahkan lebih hebat. Dan aku pun yakin, sudah banyak orang yang mengalami kecewa karena ku.


Beribu pertanyaan seringkali melintas bolak-balik di dalam kepala ku
Mengapa orang lain mudah sekali membatalkan janji untuk bertemu tanpa memikirkan bagaimana perasaan ku? Mengapa restoran ini memilih koki yang payah? Mengapa driver ojek online ini tidak tau jalan? Mengapa hasil yang aku dapatkan tidak sesuai harapan walaupun aku berusaha, padahal kata orang-orang, usaha tidak akan mengkhianati hasil? Mengapa seorang sahabat tidak memikirkan perasaan ku ketika mereka hendak melakukan sesuatu padahal aku selalu menjaga perasaan mereka bak seorang ibu menjaga bayinya yang baru lahir? Mengapa orang lain tidak dapat membalas pesanku ketika aku butuh mereka? Mengapa orang tua ku tidak percaya kepadaku? Mengapa mereka berkata jahat kepadaku padahal yang aku lakukan adalah ingin menunjukan rasa peduli ku pada mereka? Mengapa bisa orang lain membiarkan ku menunggu begitu lama? Mengapa begitu mudahnya orang lain melupakan janji yang pernah ia buat?


Bukan, yang barusan kalian baca bukan pertanyaan ujian itu

Setelah melewati itu semua, aku mempunyai suatu stigma tersendiri begitu menakutkan jika berhubungan dengan orang lain. Sering kali aku berpikir, aku akan berusaha menjadi se-independen mungkin, agar tidak banyak berhubungan orang lain dan meminimalisir kecewa yang dapat terjadi padaku

Namun… Akhir-akhir ini, suatu pertanyaan yang tidak pernah terlintas sebelumnya, mulai mengganggu pikiranku.
Ketika aku kecewa, siapa yang salah? Mereka? Atau aku?
Aku yang percaya kepada orang lain
Aku yang menaruh harapan pada orang lain dan hal lainnya
Aku yang berusaha menjaga perasaan orang lain
Aku yang tetap menunggu
Aku yang ingin orang lain agar percaya padaku
Aku yang memberi orang lain ‘pisau’ untuk menusuk dada ku berkali-kali, dan aku tidak menjauh.


Setelah bertubi-tubi ujian yang aku hadapi, namun aku belum mendapat jawaban yang tepat untuk pertanyaan ujian ini
Jadi, siapa yang harus lebih aku takuti?
Mereka?

Atau aku?


6 komentar:

  1. Cakeeeeeppp
    Tapi ko isinya lebih ke curhat dan akusentris?
    Apakah penulisnya sedang dalam pencarian jati diri?
    Jangan lupa berikan sedikit ruang untuk pembaca seperfi di tulisan2 sebelumnya
    Tetap menulis Richela

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang post kali ini dibuat seperti itu pak
      penulis sedang ingin berbagi curahan hati saja.

      yeap thanks pak!! makasih udah mampir dan sempetin waktu buat comment ehe~ i need ur advice so i can write better

      Hapus
  2. What a good food for thought! Perhaps it might be cliche, when you write down your thoughts, your problems might not solved rightaway but you're writing not because it was fun, because not writing it so much pain. Keep writing, Chel!

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeap, you know me so well, dear! haha
      dan gatau harus cerita kemana. bukan karena gak ada temen yang mau denger, cuma emang lg ga ada masalah, tapi masalah yang dulu, tiba-tiba datang dan menganggu aja :/

      Hapus
  3. kalo kata pak MD... *yea jadi filsafat*
    hehehe

    I think it's a good way of thinking chel, to actually knows what's bothering you and to be able to think deeply about it. It gives us a new perspective that sometimes we should reflect the struggles that have been chaining us and to learn how to be a better version of ourselves.

    one note though, don't be too hard on yourself. You yourself are precious! ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh ada mimi!
      cie pak MD banget yaa xD

      yeah but sometimes im thinking too deeply and its killing me too x(

      anw thanks for reading and letting me know whats ur opinion bout this!

      noted!! thankschu~~

      Hapus