Selasa, 05 Maret 2019

Siapa yang pantas masuk Surga?


Hehe, judul yang cukup provokatif dan sensitif ya?

Gak kok, saya tidak sedang berusaha menerka2 siapa yang masuk surga atau siapa yang gak pantes, emangnya saya siapa..

Tulisan kali ini akan singkat dan dibuat hanya karena berdasarkan observasi awam dan keresahan saya, beberapa tahun belakangan ini, entah karena apa (kata orang-orang sih ada faktor karena politik juga, but who knows?), beragama secara sangat radikal, menjadi hal yang cukup kontroversial.

Fenomena ini membuat agama sering kali digunakan sebagai alat untuk “menghakimi” sesama, bersembunyi dibalik kata “maaf, sekedar mengingatkan”, padahal TERKADANG maksudnya mau bilang “eh lo tuh salah, ini yang bener”

Beragama menjadi alasan untuk normalisasi perbuatan ikut campur urusan orang lain. “ngga ini bukan ikut campur, tapi ini gue mengingatkan sebagai sesama kaum beragama”. Hal ini terlihat simple, tapi pernah terlintas gak pikiran bahwa, karena sifat ikut campur dan suka untuk menghakimi orang lain, dapat berdampak seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Terkadang bukan masalahnya yang membuat ia menjadi “gak kuat”, tapi karena “omongan orang”

Oh ya, sebelum membaca lebih jauh, perlu diklarifikasi, tulisan ini tidak bermaksud untuk menganggap agama salah, yang salah adalah PENYALAHGUNAAN agama sebagai tameng untuk perbuatan-perbuatan yang disebut diatas.

Sehubungan dengan agama, saling mengingatkan, ikut campur dan lainnya seringkali dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan baik seperti “berpahala” atau “amal” agar masuk Surga.

Hal ini tiba-tiba mengingatkan saya pada pembicaraan saya dan teman saya beberapa bulan lalu, kami berdiskusi, kedua dari kami sadar bahwa kami bukan orang jahat, namun juga bukan orang suci, hal ini membuat kami berandai-andai, jika memang Surga ada, nantinya apakah kami masuk Surga atau tidak? Dari sekian banyak percakapan hari itu, yang paling saya ingat adalah kalimat berikut ini,

“Chell, menurut gue orang yang paling pantas masuk surga adalah orang yang entah gak tau / gak percaya / gak peduli sama adanya Surga”

Mendengar hal ini, tanpa butuh waktu lama, rasanya saya langsung setuju dengan statement ini.
Kami berdua setuju bahwa orang yang pantas masuk Surga adalah orang yang berbuat baik tanpa berpikir “mau masuk Surga”. Mereka melakukan kebaikan karena mereka mau, karena rasa kemanusiaan dan rasa empati, bukan karena mengejar Surga. Mengejar Surga tidak salah, namun ketika motivasi terbesar untuk ingin membantu orang lain adalah agar kita “selamat”, rasanya egois, ya?

Bagaimana menurut anda? ;)

Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, tanpa ada rasa tersinggung atau sakit hati.



Rabu, 09 Januari 2019

Pemikiran (Sok) Hebat!


Wah, sudah 2019, dan ternyata blog gue 2018 kosong ya haha.

Blog pertama gue di 2019 ini adalah mengenai kesalahan pola pikir sewaktu SMA. This gonna be a long story, semoga lo masih mau baca sampe akhir ya.

Kalau ngomongin kesalahan sewaktu SMA, pasti setiap dari kita pernah melakukan kesalahan, entah kesalahan besar yang mengakibatkan orang tua / wali dipanggil sama sekolah, atau kesalahan konyol buat haha hihi aja.

Kali ini gue mau sharing tentang salah satu kesalahan yang gue lakukan gue sewaktu SMA, yang baru gue sadari beberapa bulan belakangan ini.

Dari sekian banyak kesalahan yang gue lakukan, menurut gue kesalahan terbesar yang gue lakukan adalah pola pikir. Iya pola pikir, pola pikir yang menurut gue hebat pada saat itu, tapi setelah ditinjau ulang, ini adalah pola pikir yang menghambat gue sendiri.

Sewaktu SMP, nilai gue bisa dibilang lumayan lah, gak jelek-jelek banget. Masuk ke SMA, apalagi waktu peminatan dan gue masuk IPA, nilai gue udah mulai belepetan. Gak sampe do re mi sih, cuma ya sering remed deh.

Apa yang gue lakukan saat itu? Melakukan pembiaran.

Tetep usaha, tetep belajar, cuma ya seadanya aja. Kenapa gue melakukan itu? Sewaktu SMA gue mulai memiliki idealis dalam diri. Salah satu guru gue pernah bilang, waktu SMA, pasti sebagian besar dari kita belum tau persis kedepannya akan seperti apa, tapi seenggaknya kita tau, apa yang kita gak mau. Dan ketika duduk dibangku 2 SMA, gue tau persis kedepannya gue ga akan jadi ilmuwan sains eksakta, seperti matematika, fisika, kimia dan kawan-kawannya.

Lah ga suka pelajaran IPA, terus kenapa masuk IPA? Simply karena saat itu gue gatau mau kuliah apa dan kata orang-orang, IPA bisa masuk kuliah apa aja, jadi yaudah deh nyeblos ke IPA.

Lanjut ke cerita mengenai pemikiran gue saat SMA, karena gue tau gue ga akan mendalami ilmu eksak itu, gue makin santai dan mikir “bodo lah, ini tuh ilmu ga akan kepake, ngapain gue cape-cape belajar ginian. Fix banget gue ga akan kuliah ginian juga”. Bener sih gue berujung masuk psikologi yang notabennya adalah ilmu yang sangat tidak pasti, kalo kata orang, ilmu tergantung, haha.

Gue inget persis, saat kelas 2 SMA, gue dapet wali kelas yang SUPER dan sangat sensasional pada masanya. Kalo kita ada di sekolah yang sama, kalian pasti tau tentang guru ini. Dia seorang alumni sekolah gue juga dan dia baru lulus S1 Teknik Sipil. Umur wali kelas gue ini ga beda jauh sama gue dan temen kelas, jadi kebanyakan dari kita, manggil dia “kak”. Hai kak, if you are reading this, i really grateful that i ever had a home room teacher like you, i learn a lot from you (pastinya bukan ilmu matematikanya sih :p )

Sekolah gue termasuk lumayan santai untuk tugas dan pelajarannya ga sesulit sekolah swasta unggulan disebelah sana. Tiba tiba seorang guru masuk, jadi wali kelas sekaligus guru matematika dan buat “gebrakan” baru.

Di hari pertama semester satu, kita dikasihtau bahwa ada pelajaran matematika akan SETIAP HARI. Wow. Setiap hari. Tapi tenang aja, ini bukan surprisenya. Ehe

Selain pelajaran matematika tiap hari, kita akan dikasih tugas, SETIAP HARI.

“yaelah cuma PR, gampang, nyontek aja”

Eits, tidak semudah itu.

Setiap orang bisa dapet soal beda-beda setiap harinya, dan PR itu gak hanya dikumpul. Sepulang sekolah, akan ada yang namanya asistensi. Asistensi ngapain aja? Kita akan di”sidang” mengenai PR yang udah kita kerjain semalaman. Bener-bener ditanyain sampe pertanyaan gak penting, kaya kenapa pangkat 0 itu selalu 1? Kalo ga bisa jawab gimana? Yaudah dapet 0 ditugas itu.

Dan ini berlangsung setiap hari, dengan topik yang berbeda. Misalnya minggu ini eksponen, minggu depan udah move trigonometri, minggu depannya lagi statistik, dan seterusnya. Tentunya yang di asistensi gak cuma 1 orang, tapi 1 kelas. Nunggu gilirannya bisa sampe malem. Udah pulang malem, ada PR yang harus dikerjakan, besoknya asistensi lagi.

Cape? Bukan main. Tapi dari waktu itu gue udah berpikir, gue aja cape, gimana gurunya? Dan apasih yang membuat dia mau melakukan hal itu? Pada saat itu, gue sama sekali gatau alasannya. Bahkan gue dan beberapa temen sempet sangat kesaaaaal sama guru ini. Dan dengan kerennya ngeupload quotes einstein yang ini. Karena kita berpikir bahwa ini guru “gila” matematika dan gak semua orang bisa dipaksa untuk pinter matematika



Berbagai program yang menimbulkan banyak drama mulai diadakan. Misalnya ulangan matematika dibuat perkelompok, berisi sekitar 3-4 orang, lalu kalau satu orang aja dalam kelompok gak mencapai KKM, yang lainnya gak boleh pulang dan UJIAN ULANG. Sampe kapan? Sampe semua lulus tentunya. Kita ujian sekitar jam 1, di jam 3 atau 4 udah ada beberapa kelompok yang pulang dan kelompok gue? Ya belom lah, lagian gue dijadiin ketua, gue aja gak paham-paham banget, pake acara disuruh ngajarin orang. Beberapa kali, gue lulus, dan temen gue nggak, berujung dia nangis, padahal kita temen sekelompoknya ga marah sama sekali, tapi dia merasa bersalah sendiri, dan gue sebagai ketua ala ala, jadi sedih juga, gak sukses ngajarinnya.

Tapi sayangnya program dari guru ini tidak berjalan mulus. Program program ini menuai banyak protes dari orang tua. Terlihat tidak manusiawi, ya? Terus apa sikap ortu gue mengenai program program "gila" ini? Saat gue sering banget ketiduran waktu ngerjain tugas, mami cuma foto dan dimasukin ke IGnya, sama sekali ga protes ke sekolah walaupun tiap hari anaknya ngeluh sampe drama nangis-nangis segala. Karena sekolah gue selalu sangat memperdulikan protes dari orang tua, guru ini ditegur dan banyak program yang harus dihentikan. Sedih ya.



Mungkin di sekolah kalian, kalian gak nemu guru se-sensasional ini. Tapi pasti semua guru akan “memaksa” kalian untuk pintar di mata pelajaran yang dia ajar kan? Kalo dapet nilai jelek, marah. Padahal jelas kata Einstein, kalo bilang ikan bodoh karena dia gak bisa manjat pohon itu adalah kesalahan besar. Gak semua orang punya kecerdasan yang sama! Kok kita dituntut harus pinter matematika, fisika, kimia, akuntansi, ekonomi dll sih? Kayanya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita deh!

Itu pemikiran gue saat SMA. Tapi sekarang gue sangat sadar, saat itu gue dipaksa harus bisa ilmu eksak bukan karena guru gue berharap gue jadi ilmuwan. Mereka akan marah ketika nilai gak lewat KKM, tapi gak pernah kecewa kalau kita gak jadi ilmuwan kan?

Belakangan ini gue sadar bahwa pelajaran ilmu-ilmu di masa sekolah memang sih ada yang penting, tapi sejujurnya memang gue tidak merasakan manfaatnya dari fisika kimia dll. Terus apa dong gunanya belajar sampe keringet darah waktu sekolah?

Buat gue pribadi, yang paling penting adalah mengenai kebiasaan. Kebiasaan untuk apa? Untuk berjuang, untuk kerja keras, untuk tetap mengerjakan sesuatu walaupun kita ga suka, demi tujuan di masa depan, untuk disiplin, terbiasa untuk produktif. Semua dari kita pasti sadar betul bahwa membangun kebiasaan baik itu sulit dan butuh, tapi ketika sudah terbiasa, kedepannya akan jadi mudah menjalaninya, betul kan? Kimia Fisika Matematika Geografi dan pelajaran lainnya yang ada di sekolah belum tentu terpakai ketika lulus sekolah, tapi kebiasaan untuk berjuang itulah yang akan dibawa sampai nanti akhirnya kita semua memang sudah harus berhenti untuk berjuang. 

Bagi kalian yang masih sekolah dan mempunyai pikiran yang sama kaya waktu gue sekolah, mungkin tulisan ini bisa jadi pertimbangan untuk kalian mengubah pola pikir, sebelum sadarnya telat, kaya gue. Goodluck xx