20…
Sebentar
lagi 20 tahun sudah aku hidup di dunia ini..
‘kepala dua’
kata mereka
20 tahun
bisa menjadi waktu yang singkat, bisa juga menjadi waktu yang terbilang cukup
panjang
Sudah terlalu
banyak kisah, cerita, drama, kenangan yang sudah aku lewati
Begitu juga
pelajaran
Bukan,
maksud ku bukan matematika, ilmu alam dan ilmu sosial atau yang lainnya
Pelajaran
hidup maksud ku
Pelajaran
yang sangat unik menurut ku
Tidak bisa
seorangpun di dunia ini yang bisa mengajari kamu tentang pelajaran hidup, kamu
harus belajar sendiri!
Ya, kamu bisa
mendengar cerita pengalaman hidup orang lain
Entah orang
tua, guru, sahabat, atau bahkan orang yang tidak terlalu dekat dengan mu
Tetapi belum
tentu kamu bisa belajar dari pengalaman orang lain
Bahkan
sampai kamu sudah merasakan apa yang mereka namakan ‘ujian’ hidup, bahkan
berkali-kali, belum tentu kamu mampu belajar sesuatu dari sana
Entah
bagaimana cara belajar dari jenis ujian ini
Ujian yang
kamu hadapi bukan SETELAH kamu belajar
Melainkan
kamu baru akan belajar, setelah mendapat ujian.
Berbagai ‘ujian’
hidup telah aku lewati
Di tulisan
ku kali ini, biarkan aku berbagi mengenai pelajaran yang masih terus ku
pelajari sampai detik ini
Tidak, aku
tidak akan menggurui kalian
Aku mau
berbagi dengan kalian, dan mengajak kalian berpikir bersama
Syukur-syukur
kalau pertanyaan ku ini bisa terjawab
Ya,
pertanyaan ujian, dari diri ku, untuk aku sendiri
Aku kecewa ketika sudah merias diri,
namun orang di sebrang sana semudah itu membatalkan janji untuk bertemu
Aku kecewa ketika mengeluarkan uang
untuk makan di suatu restoran, namun rasanya seperti tidak layak masuk perut
Aku kecewa ketika memesan ojek online
dan berharap akan sampai tujuan lebih cepat, namun ternyata driver malah
membawa ku keliling Jakarta
Aku kecewa ketika sudah belajar sampai
larut malam, namun hasilnya tidak memuaskan
Aku kecewa ketika berlatih setengah
mati untuk suatu lomba, namun aku gagal
Aku kecewa ketika menganggap
seseorang adalah sahabat, ternyata sering kali diam-diam pergi dengan orang
lain tanpa mengajak diriku, atau bahkan membicarakan diri ku ketika aku tidak
ada
Aku kecewa ketika saat sekolah, aku
mengajari temanku mengenai ilmu yang orang-orang sebut sebagai fisika, namun
ketika ujian, dia mendapat nilai yang jauh lebih bagus daripada aku
Aku kecewa ketika aku seseorang
melakukan hal yang dia tau sebenarnya aku tidak suka, namun ia tetap melakukan
itu di depan ku (dan sialnya aku tidak bisa melarang)
Aku kecewa ketika sahabat ku
mempunyai pacar baru. Apakah karena aku tidak turut senang ketika mereka
bahagia? Bukan. Karena aku (mungkin juga kalian) pernah merasakan, seseorang
cenderung ‘lupa kawan’ ketika mempunyai pacar
Aku kecewa ketika berusaha selalu ada
untuk orang lain, namun ketika aku bosan, mereka sangat sibuk, bahkan tidak
punya waktu membalas pesan singkat ku
Aku kecewa ketika aku peduli kepada
seseorang, mereka melakukan salah, lalu aku menegurnya, respon mereka adalah
marah dan mengira bahwa aku ingin menjatuhkan mereka, menghina, ribet, rese,
kepo, dan lainnya
Aku kecewa ketika berusaha tepat waktu
untuk bertemu seseorang, namun dengan mudahnya orang itu membiarkan diriku
menunggu beribu-ribu detik tanpa berpikir betapa kesepian dan bosannya aku saat
itu
Aku kecewa ketika aku selalu berusaha
jujur di depan orang tua ku, berusaha agar mereka tidak akan pernah malu
setitikpun karena aku, namun mereka tetap mengira aku mengelabui mereka
Aku kecewa melihat bagaimana janji
yang dulunya pernah aku dan pihak lain buat bersama, sekarang tidak ada artinya
Dan masih banyak lagi kecewa lainnya
yang jika aku paparkan, aku khawatir kalian akan muak membacanya
Namun menurut ku, jenis kecewa yang
paling membuatku sakit adalah ketika orang lain tidak dapat mengerti mengapa
aku kecewa. Sering kali jika aku bercerita bahwa aku kecewa, yang aku dapat
hanyalah cemoohan dari mereka yang tidak mampu mengerti bagaimana perasaan ku. Atau
bahkan mereka akan memilih untuk menjauhi ku. Hmm, ku rasa mereka bukan tidak mampu
mengerti, namun tidak mau mengerti. Jelas perbedaannya.
Tidak, aku
tidak meminta belas kasihan kalian, aku bukan sedang menceritakan bagaimana
menyedihkan hidupku yang dipenuhi kekecewaan karena aku sangat yakin, kalianpun
mengalami kecewa yang sama sepertiku, bahkan lebih hebat. Dan aku pun yakin,
sudah banyak orang yang mengalami kecewa karena ku.
Beribu pertanyaan
seringkali melintas bolak-balik di dalam kepala ku
Mengapa orang
lain mudah sekali membatalkan janji untuk bertemu tanpa memikirkan bagaimana
perasaan ku? Mengapa restoran ini memilih koki yang payah? Mengapa driver ojek
online ini tidak tau jalan? Mengapa hasil yang aku dapatkan tidak sesuai
harapan walaupun aku berusaha, padahal kata orang-orang, usaha tidak akan
mengkhianati hasil? Mengapa seorang sahabat tidak memikirkan perasaan ku ketika
mereka hendak melakukan sesuatu padahal aku selalu menjaga perasaan mereka bak
seorang ibu menjaga bayinya yang baru lahir? Mengapa orang lain tidak dapat
membalas pesanku ketika aku butuh mereka? Mengapa orang tua ku tidak percaya
kepadaku? Mengapa mereka berkata jahat kepadaku padahal yang aku lakukan adalah
ingin menunjukan rasa peduli ku pada mereka? Mengapa bisa orang lain membiarkan
ku menunggu begitu lama? Mengapa begitu mudahnya orang lain melupakan janji
yang pernah ia buat?
Bukan, yang
barusan kalian baca bukan pertanyaan ujian itu
Setelah
melewati itu semua, aku mempunyai suatu stigma tersendiri begitu menakutkan
jika berhubungan dengan orang lain. Sering kali aku berpikir, aku akan berusaha
menjadi se-independen mungkin, agar tidak banyak berhubungan orang lain dan
meminimalisir kecewa yang dapat terjadi padaku
Namun… Akhir-akhir
ini, suatu pertanyaan yang tidak pernah terlintas sebelumnya, mulai mengganggu
pikiranku.
Ketika aku
kecewa, siapa yang salah? Mereka? Atau aku?
Aku yang
percaya kepada orang lain
Aku yang
menaruh harapan pada orang lain dan hal lainnya
Aku yang
berusaha menjaga perasaan orang lain
Aku yang
tetap menunggu
Aku yang ingin
orang lain agar percaya padaku
Aku yang
memberi orang lain ‘pisau’ untuk menusuk dada ku berkali-kali, dan aku tidak
menjauh.
Setelah
bertubi-tubi ujian yang aku hadapi, namun aku belum mendapat jawaban yang tepat
untuk pertanyaan ujian ini
Jadi, siapa
yang harus lebih aku takuti?
Mereka?